Kritik, dalam keadaan apa pun, berguna, termasuk kalaupun tendensius. Ia menjadi pertanda sehat, termasuk kalaupun tidak obyektif. Pernyataan ini bukan ajakan untuk tidak obyektif dalam mengkritik, atau untuk memberikan justifikasi kepada orang-orang yang mempunyai tendensi, namun, pernyataan ini adalah seruan untuk menerima kritik sebagai prinsip dan tidak memerangi serta menyerangnya saat terjadi cacat dalam cara mengkritik atau aib dalam pelaksanaanya atau karena disalah gunakan oleh orang yang tendensius
Kemestian Kritik
Seorang muslim hendaklah awas terhadap zaman dan tempatnya berada, memahami dengan baik apa yang terjadi di sekelilingnya, supaya kalimat-kalimatnya tidak disalahgunakan, sebagaimana ucapan sayyidina 'Ali bin Abi Thalib kepada kaum Khawarij: "Kalimat kebenaran tetapi yang dimaksud darinya adalah kebatilan".
Rasulullah saw. pernah diserang harga diri dan kehormatannya, dan Allah swt. membongkar hakekat dari serangan itu, membuka kartu sang pembuat isu dan sang pemilik tendensi, namun pembukaan hakekat itu terjadi setelah berlalu masa 19 atau 20 tahun. Artinya setelah hukum dan syari'at sempurna. Hanya saja, iklim atau suasana umum yang penuh dengan orang-orang munafik, para pemilik tendensi khusus, penurut hawa nafsu dan mereka-mereka yang berjiwa lemah dari kalangan kaum muslimin belum tepat. dan diantara kamu ada telinga-telinga bagi mereka (Q.S. At-Taubah: 47). Maka beliau saw. bersabda dengan sabda yang sangat populer: "Adakah kamu menginginkan agar sesama orang Arab saling berkata: 'Muhammad membunuh sahabatnya'"!
Hal ini terjadi saat beliau diminta untuk menegakkan hukuman atas pembuat dan pengobral isu.
Pelajaran yang dapat diambil dari sini adalah menjadi kewajiban bagi semua orang yang memiliki kemampuan menulis dan menyampaikan pendapat untuk memahami bahwa:
1. Hendaklah ia tidak berhenti dari mengkritik, sebab kritik itu kehidupan bagi fikrah (gagasan), ke-istiqamahan manhaj, dengannya yang buruk menjadi jelas di antara yang baik, berbagai keutamaan menjadi tersebar, dan berbagai keburukan dapat dikenali
2. Namun, jangan menyerang pribadi atau lembaga, juga jangan membuka hal-hal privacy terlebih lagi melanggarnya
3. Hendaklah berupaya semaksimal mungkin untuk komitmen dengan batasan, adab dan hal-hal yang diperbolehkan dalam mengkritik. Juga hendaklah memperhatikan iklim atau suasana umum yang ada di sekelilingnya, agar pendapatnya tidak disalahgunakan, apatah lagi dimaknai dengan selain dari yang dimaksud oleh sang pemilik pendapat, dan agar kritikannya tidak dimanfaatkan oleh pemilik tendensi tertentu atau oleh penurut hawa nafsu
Komentar Ar-Ridhab atas Makalah
Saya berpendapat: hendaklah seorang pengkritik selalu menempatkan ucapan Ibnu Taimiyyah ini selalu ada di hadapan kedua matanya
Agar ia menyuguhkan kritikan demi memperbaiki, dan agar dapat menghindari aib dan sisi-sisi negatif … jadi bukan mengkritik dengan tujuan mengkritik
Ibnu Taimiyyah berkata: "Sebagian orang, selalu terlihat olehmu sebagai pengkritik, ia melupakan berbagai kebajikan berbagai kelompok dan berbagai jenis, ia hanya mengingat sisi-sisi keburukannya saja. Orang seperti ini seperti lalat, ia tinggalkan tempat yang sehat dan tidak sakit, dan menclok pada luka dan tempat yang sakit. Hal ini pertanda jiwa yang buruk dan pribadi yang rusak
Kemudian, ketahuilah wahai saudaraku bahwa kata kritik mempunyai dua kemungkinan makna, yaitu:
a. Menampakkan berbagai sisi positif untuk kita kembangkan, dan
b. Menampakkan berbagai sisi negatif untuk kita hindari dan kita minimalisir …
Dan inilah yang disebut dengan istilah kritik membangun (konstruktif)
Kemudian … sungguh mengherankan seorang muslim yang sebelum mempelajari satu masalah agama sudah mempelajari bagaimana mencaci saudaranya sesama muslim!
Kemudian ia menginginkan keselamatan dan keberuntungan … kapan dia akan beruntung?
Kapan beruntung jika seseorang "melukai" suatu kaum, padahal bisa jadi mereka yang "dilukai" itu telah menempati tempatnya di surga semenjak beberapa tahun yang lalu?
Kapan beruntung seseorang yang memuaskan dada orang-orang kafir melalui cercaan yang ia tujukan kepada saudaranya sesama kaum muslimin?
Hanya saja, pada asalnya, kritik itu hendaklah membangun dan ikhlas semata karena Allah … supaya sebuah fikrah (gagasan) atau proyek yang menjadi sasaran kritik itu menjadi sempurna, dan dapat disuguhkan kepada publik dalam bentuknya yang paling sempurna
Komentar Raji al-Jannah Terhadap Makalah
Kritik membangun adalah hak asasi setiap aktifis pergerakan, tidak boleh ditinggalkan atau dibuat sembrono, sebagaimana kita juga berkewajiban untuk melatih diri kita terhadap kritikan itu … sehingga kita bisa menjadi sandaran bagi qiyadah kita dan penolong baginya. Sementara itu mata kita yang lain kita pergunakan untuk melihat keputusan qiyadah yang telah dibuat dan untuk menimbang berbagai urusan … kita berkewajiban untuk mendorong sang pengkritik yang bertujuan meluruskan, dan bukan yang bertujuan tasykik (menanamkan keraguan), kita dukung kritik yang bermaksud membetulkan, dan bukan yang bertujuan "melukai", termasuk walaupun kita berbeda pendapat dalam masalah cara menyampaikannya, dan tampak jelas salahnya. Hanya saja, kita wajib mensyukuri, serta meminta kepadanya agar berkali-kali membolak-balik berbagai urusan supaya sampai kepada titik terdekat dari kebenaran …
Kritik bukanlah sebuah tujuan, dan tidak harus menjadi tujuan. Agar kritik bersifat membangun, terlebih dahulu harus ada satu langkah penting, yaitu: tabayyun (mencari titik terang), istidhah ar-ru'yah (meminta penjelasan tentang sebuah cara pandang), at-ta'arruf 'ala mulabasat ittikhadz al-qarar mahall an-naqdi wa bawa'itsihi wa asbabihi (berupaya untuk mengetahui berbagai situasi dan kondisi keluarnya sebuah keputusan yang menjadi sasaran kritik, motivasi dan sebab-sebabnya).
Saat memenuhi prasyarat inilah kritik itu dapat diterima yang mampu menentukan posisi penyakit dengan tepat, dan memberikan deskripsi terapi secara professional … dan kita berkewajiban untuk segara membetulkan jalur yang kita tempuh serta meluruskan tujuan yang hendak kita tuju
Sebagian saudara kita yang mulia, saking cinta dan kasmaran-nya kepada dakwah dan pergerakan, dan karena saking banyaknya berhadapan dengan berbagai serangan kritik yang desktruktif, at-tasykik al-mutawashil (upaya penciptaan keraguan yang berkesinambungan), serta at-tajrih al-ladzi la yatawaqqaf (upaya "melukai" yang tiada henti), mereka terkena satu penyakit yang disebut hassasiyyah an-naqd (sensitifitas kritik), yaitu kepekaan yang menempatkan para pemberi nasihat bersama dengan orang-orang yang benci, menempatkan para kritikus yang membangun sejajar dengan para pengobral syubhat dan orang-orang yang gemar memperburuk citra, mereka itu menempatkan semuanya dalam satu keranjang, padahal seharusnya harus dipilah dan dibedakan. Dan pada firman Allah swt yang artinya: tidaklah mereka [ahli kitab] itu sama (Q.S. Ali Imran: 113) terdapat keteladanan dan contoh ideal …
Kita berkewajiban untuk melepaskan diri dari penyakit ini, dan menerima kritik – selama bersifat konstruktif- dengan dada lapang, serta mencari hikmah di mana pun berada, sebab ia adalah barang yang hilang dari kita, dan dia itu adalah sesuatu yang kita kehendaki
Termasuk perkara penting dan mesti bagi mereka yang telah rela untuk ber-'amal jama'i adalah tidak ada lagi pendapat perseorangan setelah adanya qarar qiyadah … dalam arti, siapa saja yang ber-intima' (bergabung) kepada sebuah jama'ah hendaklah komitmen dengan berbagai qarar politik (policy) serta arah kebijakan yang dibuat oleh qiyadah … dan bukan hanya komitmen dengan qarar saja, namun, ia jadikan qarar itu sebagai milik dirinya dan ia membelanya … sebab, syura itu bersifat mengikat, dan ragam pendapat, setelah syura menjadi satu pendapat saja … jika seseorang melihat adanya kekurangan atau kesalahan dalam qarar yang dibuat, pertama: hendaklah ia mencari titik kejelasan dan melakukan pengecekan atasnya, sehingga hal-hal yang belum jelas dan masih samar bisa dihilangkan … dan jika berketerusan dalam melihat ketidak benaran qarar, maka ia berkewajiban untuk komitmen dengan ushul tanzhimiyyah (pokok-pokok organisasi) dan dhawabith harakiyah (patokan-patokan pergerakan), serta menempuh kanal-kanal syar'i (legal) untuk memperjelas pendapat dan pandangannya … dan tidak ada sesuatu selain kanal-kanal syar'i (legal)
DR. Munir Al-Ghadhban mempunyai pernyataan yang sangat berharga dalam kitabnya yang berbobot: al-Manhaj al-Haraki fi as-Sirah al-Nabawiyyah, beliau berkata: "Sering sekali para pemuda suatu jamaah yang bersemangat terdorong untuk melakukan kritik pedas dan tajam kepada qiyadah, di mana qiyadah mempergunakan hikmah dan tuadah (penuh perhitungan) dan menyelesaikan orang-orang yang menyimpang dari barisan dakwah dan orang-orang yang memberontak terhadapnya … akibat kritik pedas dan tajam ini, qiyadah berada dalam posisi di antara dua api; api mereka-mereka yang terlalu bersemangat yang menilai para qiyadah lamban dan meremehkan urusan, dan api para musuh yang selalu menunggu-nunggu kesempatan untuk menjatuhkan tipu dayanya kepada jamaah. Jadi, para pemuda yang berada dalam barisan jamaah tidak memberikan udzur (alasan) kepada qiyadah dan musuh yang ada di luar pun tidak memberi belas kasihan kepadanya …Betapa perlunya kita untuk membiarkan adanya kebebasan bagi qiyadah dalam berinteraksi dengan para pemudanya dan bersama para musuhnya, sebab, dia (qiyadah) itu lebih tahu tentang berbagai situasi yang dihadapi olehnya daripada kita, dan di antara hak kita adalah memperjelas pendapat kita, akan tetapi bukan termasuk hak kita untuk memaksakan pendapat yang kita miliki, dan bukan hak kita pula untuk menuduh qiyadah dalam suatu sikap yang diambilnya, sebab itu adalah haknya, dan bagus juga untuk kita ingat dan jangan sampai terlupakan dari pikiran kita bahwa di dalam qiyadah harakah terdapat ilmu dan ulama' yang menjadikannya memiliki bashirah dalam tindak tanduknya …
اَلْمَصْدَرُ Sumber:
http://www.ikhwan.net/vb/showthread.php?t=70834
No comments:
Post a Comment